Selasa, 02 Februari 2010

Penelusuran Morfologi Pusat Desa Brosot, Yogya.....


Desa sebagai unit pemerintahan terkecil, pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan kekuasaan, terlebih pada desa-desa dimana pengaruh kekuasaan masih dominan, atau desa yang dekat dengan ibukota pemerintahan.
Desa Brosot, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah yang berada dibawah pemerintahan Adipati Pakualam, keberadaan raja diwakili oleh seorang Bupati, yang sekaligus berperan sebagai tenaga administrasi kadipaten, yang bertugas menyetorkan pajak tanah kepada Adipati Pakualam di Yogyakarta.
Dominasi kekuasaan Pakualam dan perkembangan tanam paksa (cultuur stellsel) pada pertengahan abad 19 telah membentuk Pusat Desa Brosot yang dominan dengan kegiatan perkebunan dan industri, meskipun akhirnya kegiatan industri ini berakhir bersamaan dengan timbulnya gerakan kebangsaan dan perebutan paksa dan penghancuran asset penjajah kolonial sekitar tahun 1940-1950.
Penelitian ini akan berusaha menelusuri dan melakukan pencarian Pusat Desa Brosot pada awal berdirinya, berusaha melihat perkembangan morfologi pusat desa sejalan perkembangan sejarah yang ada. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik wawancara dengan beberapa narasumber yang mengetahui sejarah Desa Brosot dan membandingkan dengan sumber-sumber tertulis yang masih bisa terlacak.

Desa Brosot terletak di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, berjarak sekitar 27 kilometer dari pusat kota Yogyakarta arah barat daya, atau sekitar 20 kilometer di timur Wates, Ibukota Kabupaten Kulon Progo, terletak tepat di barat Sungai Progo sekitar 12 kilometer dari pantai selatan, di sebelah barat Desa Brosot, berbatasan dengan Desa Pandowan dan Desa Kranggan, Kecamatan Galur, Batas Utara dengan Kecamatan Lendah, sementara tepat di sebelah timur Sungai Progo masuk dalam Desa Srandakan, Kabupaten Bantul.

SEJARAH DESA BROSOT

Desa Brosot pada mulanya bernama Desa Karang Kemuning , nama desa ini merupakan nama awal desa sebelum masuknya pengaruh Belanda melalui kegiatan industri gula dan tanam paksa tebu.

Nama Brosot sendiri memiliki banyak versi berbeda berdasarkan penuturan masing-masing narasumber, ada yang menyatakan bahwa nama Brosot memiliki arti pergi tanpa pamit , ada pula yang menyatakan bahwa nama Brosot berasal dari nama/ bahasa Belanda Brosst yang melalui pelafalan bahasa jawa berubah menjadi Brosot, tidak bisa dipastikan dari dua sumber tersebut, mana asal kata yang dapat dianggap mewakili kata Brosot, karena kata itu sendiri tidak ada dalam kosa kata bahasa jawa.

Pusat Desa Brosot Jaman Kolonial/ Pemerintahan Pakualam

Tidak banyak yang bisa digali tentang struktur pemerintahan dan tata ruang wilayah pada awal sejarah Desa Brosot ada, sejarah tertua yang sampai saat ini terlacak adalah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pada era cultuur steellsel dimana pada sekitar tahun 1850-an di sekitar Desa Brosot merupakan daerah pusat industri. Desa Pandowan di sisi barat Brosot dan Desa Sewu Galur adalah pusat industri gula dan perkebunan tanam paksa tebu dan Indigo . Industri yang ada saat itu merupakan industri besar terbukti dari adanya catatan sejarah tentang pemogokan buruh secara besar-besaran pada tahun 1876 di Desa Sewu Galur menuntut adanya pengurangan jam kerja. Pemogokan pada tahun 1876 ini melibatkan hampir 1000 orang buruh tani yang mengadukan permasalahan jam kerja ini kepada perwakilan Adipati Pakualam di Brosot .

Perwakilan Adipati Pakualam di Brosot dan sekitarnya (dalam lingkup Kecamatan Galur) diwakili oleh pejabat setingkat Bupati, jabatan ''Bupati'' yang berkedudukan di Brosot ini hanya bertahan satu periode pemerintahan. Bupati pertama saat itu dijabat oleh Bupati Suryo Digdoyo yang setelah kematiannya pusat pemerintahan Pakualam di Kulon Progo dipindahkan ke Bendungan, Wates.

Kematian Bupati Suryo Digdoyo berdasarkan cerita sejarah masyarakat Brosot adalah karena intrik dari Pemerintah Belanda yang mengadakan pesta jamuan dan mengundang Bupati untuk hadir, namun Belanda dengan tujuan dan maksud tertentu membubuhkan racun pada minuman Bupati Suryo Digdoyo hingga akhirnya Bupati ini tewas tak berapa lama kemudian . Tewasnya Bupati Suryo Digdoyo membuat kekuasaan di Brosot menjadi lowong dan Pemerintahan Kadipaten Pakualam memindahkan pusat pemerintahan ke Bendungan Wates, yang hingga saat ini dikenal sebagai Ibukota Kabupaten Kulon Progo.

Pemimpin Desa (Lurah) di Brosot pada awal desa ini terbentuk (berada dalam kekuasaan Pakualam) adalah Raden Atmo Suwarno, masih keturunan keluarga bangsawan dari Pakualam, tahun masa kepemimpinan Lurah ini sulit untuk dilacak, dalam catatan Kelurahan Brosot, Lurah ke-empat yang memimpin desa ini bernama Raden Mahendra yang berkuasa pada sekitar tahun 1946 , dengan asumsi masa kepemimpinan lurah adalah sekitar 10-15 tahun, maka diperkirakan R. Atmo Suwarno berkuasa sekitar tahun 1890-1900.

Berdasarkan cerita masyarakat Brosot, Lurah pertama Brosot bertempat tinggal di sebelah barat Pesanggrahan Pakualam. Atau tepatnya dibelakang Kantor Kecamatan Galur sekarang. Pernyataan bahwa R. Atmo Suwarno merupakan Lurah pertama Desa Brosot dibantah oleh beberapa orang, karena ada beberapa orang yang menyatakan bahwa R. Atmo Suwarno tak lebih hanyalah seorang Upas (pemungut pajak tanah) .

Garis merah dari pernyataan-pernyataan yang mengandung versi yang berbeda-beda ini dapat disimpulkan bahwa pada awal terbentuknya desa ini, kekuasaan Pakualam begitu dominan, terbukti dari adanya wakil Pakualam berupa pejabat setingkat bupati, adanya pejabat ini dimungkinkan karena adanya proses industrialisasi dan perkebunan sebagai akibat kebijakan Cultuur Stellsel yang pada masanya menjadi kekuatan sentral ekonomi Brosot, dan juga kekuatan sentral ekonomi Hindia Belanda di Dunia , bukti dari adanya kegiatan industri ini hingga tahun 1950-an adalah berupa rel KA/ lori tebu yang membujur sepanjang puluhan kilometer dari Desa Sewu Galur hingga arah Bantul melintasi Sungai Progo.

(Disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Dosen Teknik, Universitas Tarumanagara, 5-6 September 2006)

Tidak ada komentar: