Jumat, 04 November 2011

Memaknai Kembali “Roh” Arsitektur Tradisional Indonesia

Memaknai Kembali “Roh” Arsitektur Tradisional Indonesia[1]
Laurentius Edhi Prasetya
Jurusan Arsitektur Universitas Pancasila
Jl Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640
prastyan@yahoo.com

Diskusi menyangkut matinya arsitektur tradisional, memaksa saya kembali membuka banyak catatan lama saya, tentang definisi arsitektur tradisional, membuka kembali folder foto-foto slide di Cibal, Mangggarai, Flores yang sudah 10 tahun terbengkalai.
Arsitektur Flores menjadi issue yang sangat sexy belakangan karena adanya rehabilitasi tujuh Mbaru niang di Wae Rebo, Satarmese, yang diliput melalui media televisi nasional. Rehabilitasi juga melibatkan institusi arsitektur bergengsi di Indonesia dan keterlibatan teman-teman arsitek garda depan Indonesia. Meski mengakui bahwa Wae Rebo merupakan sebuah “penemuan” baru, namun conical house sebagai mana di jumpai di Wae Rebo bukanlah hal yang benar-benar baru, karena Maribeth Erb, seorang anthropolog dari NUS, pernah melakukan rehabilitasi serupa beberapa puluh tahun sebelumnya di Desa Todo, Satarmese.
Apa yang kita peroleh dari rehabilitasi mbaru niang di Wae Rebo tersebut?
Salah satu ungkapan di blog berikut, semoga bisa mewakili:
Wae rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu padahal pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik ini. Wae rebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh wisatawan asing[2].
Apa yang kita harapkan dari sebuah “orisinalitas” karya arsitektur?? Sebuah “enclave peradaban”? apakah mereka yang menjunjung tinggi “orisinalitas” adalah pejuang arsitektur tradisional Indonesia, ataukah semata semangat turisme yang sedang dikejar? Tayangan televisi menunjukkan bahwa warga di ‘enclave” tersebut, tekun belajar bahasa inggris demi mampu menjamu tamu turis mancanegara[3].
Lantas bagaimana dengan semangat vernakular arsitektur yang bersandar pada tradisi dan evolusi? Adalah tradisi yang menjadi “roh” yang akan membuat “space menjadi place”, dalam tradisi Manggarai, rumah (mbaru) adalah sebuah “place” yang menjadi sentral kehidupan religius masyarakat. Tidak peduli apakah shaped in conical house atau bukan karena ikatan dengan roh leluhur adalah pengikat masyarakat dengan lingkungannya, sehingga ketika material bangunan modern muncul, banyak mbaru niang  berubah bukan lagi conical house, melainkan menjadi rumah layaknya rumah di pelosok Indonesia, meski begitu, “roh” leluhur tetap memelihara mbaru tersebut, dan mbaru sebagai sebuah space masih dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara adat, dan bahkan ibadat sabda untuk penerimaan komuni bagi masyarakat Katholik di pedalaman, yang jauh dari jangkauan gereja.

Sebagaimana di sebuah desa di Kecamatan Cibal, dalam wujud saat ini, mbaru gendang sebagai unsur penting sebuah golo dalam struktur masyarakat Manggarai tidak lagi berbentuk conical, tapi telah mengalami transformasi menjadi cubical house namun “roh” sebuah golo (satuan permukiman) yaitu lingko (communal field) -wae teku (mata air adat)-boa (makam adat) masih terpelihara, natas (alun-alun desa) dan compang (altar persembahan) sebagai pelengkap upaca penti (upacara panen) masih terpelihara pula.
Diskusi kemudian harus dimulai dengan sebuah pertanyaan, pentingkah sebuah “orisinalitas” dalam karya arsitektur tradisional? Dalam banyak hal, secara visual, sebagaimana telah disampaikan di muka, “orisinalitas” tampak sebagai sebuah daya tarik yang sangat ‘sexy” untuk dipertontonkan. Terlebih di era modern, yang sarat dengan kejenuhan, sebuah “enclave yang orisinal” sama menariknya dengan kecantikan bintang sinetron.
Barangkali adalah sebuah pengecualian, dalam perjalanan dari Distrik Agats, Kabupaten Asmat, menuju Distrik Tomor, Kabupaten Asmat, dijumpai sebuah rumah panjang yang terbengkalai, dalam struktur masyarakat Asmat, sebuah rumah panjang tak ubahnya mbaru niang dalam tradisi Manggarai, sebuah place bermakna kultural-religius, rumah panjang kehilangan makna-nya karena, tidak lagi ada kegiatan sakral yang berlangsung dalam rumah panjang, rumah panjang hanya bermakna tak ubah-nya balai desa di Jawa. Sebagai space untuk bermusyawarah namun bukanlah sebuah space untuk ritual keagaamaan, sehingga, rumah panjang kehilangan makna penting dalam arsitektur tradisional, yaitu “asosiasi kultural dan aura tempat”.
Segala makna ritual, asosiasi kultural, aura tempat, jauh lebih bermakna dari semua ke-sexy-an sebuah tradisi, bahwa kemudian masyarakat Manggarai masih “menumpahkan darah” saat pesta “penti” di natas (alun-alun desa) memiliki banyak makna simbolik, menunjukkan “pengorbanan darah” untuk keberhasilan panen musim tanam berikutnya, ini adalah “harta berharga” dari sebuah ‘arsitektur tradisional Indonesia”, tradisi menjadi sebuah “roh” yang akan menjaga arsitektur tradisional Indonesia, bukan untuk menjaga “orisinalitas” semata tapi untuk menjaga sebuah masyarakat agar tetap menghargai “leluhur” nya, menjaga kelangsungan tata nilai, itulah “INDONESIA” yang bukan sekedar “ARSITEKTUR TRADISIONAL INDONESIA”.



[1] Disampaikan sebagai bagian dari manifesto “Matinya Arsitektur Tradisional Indonesia”, Universitas Tarumanagara, 11 November 2011.
[2] http://gumampelabuhan.blogspot.com/2011/01/wae-rebo-kampung-paling-udik-di.html
[3] Tayangan melaluiu Kompas TV 

Kamis, 15 September 2011

Cultural Acculturation In Muslim Society Pegayaman, Buleleng, Bali


Cultural Acculturation In Muslim Society
Pegayaman, Buleleng, Bali

L. Edhi Prasetya, Agus S. Sadana 



ABSTRACT

Pegayaman Village in District Sukasada, Buleleng, Singaraja, Bali, is a muslim village in Bali. Village with  ± 5000 population which 90% of them are muslim, live in harmony among Hindu population. At  Pegayaman Village, acculturation occurs Islamic-Hindu seen from several aspects, mostly in architecture, which are different from most buildings in Bali, the integration of Hindu-Muslim elements were retained until nowadays in the Pegayaman Village. In contrast to the generally villages in Bali are still concerned about the orientation of the building such as Hasta Kosala Kosali, the religion’s axis, the Earth's axis, the axis of the cosmos and the rules of building a traditional house in Bali, the village pattern in Pegayaman seems like a labyrinth, the pattern that have characteristic of intersection from alley to pathways, as a war strategy in order to perform a guerrilla as part to defend the kingdom. Pegayaman village influenced by Bugis, Java and Bali culture, that blended as a Pegayamancore culture, indicated by architectural aspects such as roof, pillar, door and window. The muslim majority in Pegayaman give a unique charateristic which are different from the common Balinese building that have a strong influenced of Hindu philosophy. Thus the people of Pegayaman apply more rational thinking to get the size of building elements, building structure and construction. Inculturation has occurred in the Pegayaman village, adjusting to the conditions, circumstances and cultural atmosphere that creates a harmony with both physical and non physical environment. Inculturation take place by outsider or immigrant to adapt and attract the native, shows that Pegayaman is similar than the surrounding village. This paper will explain how the acculturation occurred in the Muslim community in Bali, especially in term of acculturation in architecture and village patterns. Which proves that religion is capable to supporting a harmony among the different magnitude in Bali.

Minggu, 17 April 2011

Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Adat Di Desa Bayunggede Bali



Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Adat Di Desa Bayunggede Bali
Agus S. Sadana (1)
L. Edhi Prasetya (2)

Jurusan Arsitektur Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Telp. 021 786 47 30 ext., 106; Fax: 021 728 01 28
(1)    sadana_m15@yahoo.com
(2)    prastyan@yahoo.com

Abstrak
Kearifan lokal didefinisikan sebagai serangkaian konvensi dalam masyarakat, yang mengatur tata kehidupan baik pengaturan yang bersifat profan dan terutama sakral, kearifan lokal tidak lepas dari proses tradisi yang bersifat turun temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal menyangkut berbagai segi, kehidupan masyarakat, kebudayaan dan juga arsitektur.Desa Bayunggede merupakan desa Bali Aga atau Bali Mula yang sudah ada sebelum abad 12 di saat Majapahit masuk ke Bali dengan membawa ajaran agama Hindu. Sehingga secara kultural, ritual, dan kebudayaan Bayunggede berbeda dengan Bali Selatan yang sudah terpengaruh oleh Majapahit, seperti upacara daur kehidupan. Desa Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang secara geografis berada di daerah pegunungan. Desa Bayunggede telah ditetapkan sebagai salah satu desa tradisional yang ada di Bali karena keunikan yang dimilikinya. Keunikan Bayunggede terlihat pada tipo morfologi huniannya yang disetiap unit huniannya memiliki tiga massa bangunan dengan fungsi yang berbeda. Aspek yang menarik dari Desa Bayunggede adalah pada kualitas lingkungan fisik dan keunikan budayanya yang tidak saja masih bertahan sampai saat ini, namun masih tercermin dalam kehidupan sehari-hari bahwa aturan-aturan adat yang mengatur kehidupan masyarakat ditaati dan dilaksanakan sebagai kewajiban turun-temurun.Paparan ini akan mendeskripsikan pola tata ruang dan pola permukiman di Desa Bayunggede, keunikan yang ada di desa tersebut dibandingkan dengan desa-desa lain di Bali, serta mengidentifikasikan kearifan lokal sebagai pendukung kelestarian arsitektur tradisional Bayunggede.  

Kata kunci: kearifan lokal, arsitektur adat, Desa Bayunggede

Jumat, 21 Januari 2011

TRANSFORMASI BENTUK TROTOAR SEBAGAI RUANG PEJALAN KAKI DAN PEDAGANG KAKI LIMA


TRANSFORMASI BENTUK TROTOAR SEBAGAI RUANG PEJALAN KAKI
DAN PEDAGANG KAKI LIMA

Joko Adianto, ST, M.Ars
Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia
joko.adianto@gmail.com
L.Edhi Prasetya, ST, M.T
Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Pancasila
prastyan@yahoo.com


Dewasa ini, Pemerintah Daerah berusaha mengembalikan ruang publik ke fungsi asalnya, yaitu ruang pejalan kaki. Namun usaha tersebut selalu berlangsung dengan perlawanan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan anggota masyarakat lainnya. Penelitian pendahuluan saya sebelumnya membuktikan bahwa trotoar merupakan salah satu habitat PKL dan memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan pejalan kaki. Masalah lingkungan yang muncul adalah akibat tidak adanya ruang untuk mewadahi kegiatan mereka. Berbagai penelitian yang sudah dilakukan, baik di dalam maupun luar negeri juga membuktikan bahwa usaha penertiban PKL tidak mungkin berhasil secara maksimal. Bahkan di negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia dan Jepang, keberadaan PKL diwadahi sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masing-masing.
Berbagai solusi ruang yang ditawarkan seringkali tidak berhasil karena tidak mengakomodasi logika spasial jejaring kehidupan PKL dan masyarakat kota. Hasil penelitian kami pada tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa ruang kehidupan PKL memiliki mekanisme dan organisasi yang terkait dan terikat dengan daur kehidupan masyarakat. Zonasi, konfigurasi dan lokasi lapak PKL ternyata mampu menciptakan kualitas ruang dan program kegiatan yang dibutuhkan pejalan kaki dan masyarakat kota. Lebih dari itu, ruang kehidupan PKL di trotoar merupakan salah satu simpul jejaring kehidupan masyarakat kota. Ruang keberadaannya dipengaruhi dan mempengaruhi ruang kehidupan masyarakat kota. Hal inilah yang menyebabkan keberadaan ruang PKL di trotoar tidak dapat diselesaikan hanya melalui penggusuran atau pemindahan lokasi berdagang semata.
Kami mengidentifikasi transformasi trotoar sebagai ruang pejalan kaki menjadi ruang pejalan kaki dan PKL. Transformasi ini terjadi karena adanya superimposisi mekanisme jejaring ruang kehidupan masyarakat kota dengan kondisi fisik ruang kota yang telah terbentuk. Melalui tulisan ini, kami berpendapat bahwa perlunya transformasi bentuk ruang publik yang sesuai dengan konteks dan mampu mengakomodasi ruang hidup keseharian masyarakat setempat.

Kata kunci:
Trotoar, PKL, ruang.