Jumat, 21 Januari 2011

TRANSFORMASI BENTUK TROTOAR SEBAGAI RUANG PEJALAN KAKI DAN PEDAGANG KAKI LIMA


TRANSFORMASI BENTUK TROTOAR SEBAGAI RUANG PEJALAN KAKI
DAN PEDAGANG KAKI LIMA

Joko Adianto, ST, M.Ars
Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia
joko.adianto@gmail.com
L.Edhi Prasetya, ST, M.T
Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Pancasila
prastyan@yahoo.com


Dewasa ini, Pemerintah Daerah berusaha mengembalikan ruang publik ke fungsi asalnya, yaitu ruang pejalan kaki. Namun usaha tersebut selalu berlangsung dengan perlawanan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan anggota masyarakat lainnya. Penelitian pendahuluan saya sebelumnya membuktikan bahwa trotoar merupakan salah satu habitat PKL dan memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan pejalan kaki. Masalah lingkungan yang muncul adalah akibat tidak adanya ruang untuk mewadahi kegiatan mereka. Berbagai penelitian yang sudah dilakukan, baik di dalam maupun luar negeri juga membuktikan bahwa usaha penertiban PKL tidak mungkin berhasil secara maksimal. Bahkan di negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia dan Jepang, keberadaan PKL diwadahi sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masing-masing.
Berbagai solusi ruang yang ditawarkan seringkali tidak berhasil karena tidak mengakomodasi logika spasial jejaring kehidupan PKL dan masyarakat kota. Hasil penelitian kami pada tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa ruang kehidupan PKL memiliki mekanisme dan organisasi yang terkait dan terikat dengan daur kehidupan masyarakat. Zonasi, konfigurasi dan lokasi lapak PKL ternyata mampu menciptakan kualitas ruang dan program kegiatan yang dibutuhkan pejalan kaki dan masyarakat kota. Lebih dari itu, ruang kehidupan PKL di trotoar merupakan salah satu simpul jejaring kehidupan masyarakat kota. Ruang keberadaannya dipengaruhi dan mempengaruhi ruang kehidupan masyarakat kota. Hal inilah yang menyebabkan keberadaan ruang PKL di trotoar tidak dapat diselesaikan hanya melalui penggusuran atau pemindahan lokasi berdagang semata.
Kami mengidentifikasi transformasi trotoar sebagai ruang pejalan kaki menjadi ruang pejalan kaki dan PKL. Transformasi ini terjadi karena adanya superimposisi mekanisme jejaring ruang kehidupan masyarakat kota dengan kondisi fisik ruang kota yang telah terbentuk. Melalui tulisan ini, kami berpendapat bahwa perlunya transformasi bentuk ruang publik yang sesuai dengan konteks dan mampu mengakomodasi ruang hidup keseharian masyarakat setempat.

Kata kunci:
Trotoar, PKL, ruang.