Selasa, 02 Februari 2010

Konservasi Kawasan Panggung Krapyak Yogyakarta Melalui Pendekatan Urban Linkage




PENGERTIAN KONSERVASI
Konservasi secara umum dipahami sebagai upaya untuk menjaga, mengawetkan dan memelihara bangunan atau lingkungan binaan yang sudah kuno, atau sudah sangat buruk kondisinya, bahkan dalam arti yang luas akan mencakup konservasi kultural di mana obyek tersebut berada. Undang-undang tentang benda peninggalan bersejarah sendiri memberi batas waktu 50 tahun sebagai batas sebuah obyek bangunan/ lingkungan binaan yang sudah layak untuk dikonservasi.
Konservasi sebagai sebuah ilmu yang sangat luas memiliki keahlian multidipliner meliputi beberapa keahlian khusus. Pengertian konservasi tidak terbatas pada pelestarian atau pengawetan bangunan/ lingkungan binaan semata, konservasi memiliki pengertian yang luas, meliputi berbagai tindakan dan upaya berkaitan dengan penyelamatan bangunan bersejarah. Beberapa pengertian konservasi dapat diuraikan antara lain:
1. Conservation can be defined as preservation from loss, depletion, waste or harm. (Martin E. Weafer, 1997).
2. Conservation is, therefore, primary a process which leads to the prolongation of the life of cultural property for its utilization know and the future (Bernard M. Feilden 1994).
3. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya tetap terpelihara dengan baik (The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance, 1981).

TINGKATAN KONSERVASI
Upaya konservasi akan meliputi tingkatan-tingkatan tindakan/ actions berdasarkan tingkat kebutuhan dan kondisi obyek konservasi tersebut, juga melihat kepentingan dan tautannya dengan kondisi sekitar (tautan urban) karena pada dasarnya sebuah obyek konservasi tidak bisa dilihat sebagai obyek tunggal namun obyek yang memiliki jiwa dan roh di dalam lingkungannya. Bring the preservation of the individual building inti its urban context in order to have more coherance of the end result. Bernard Feilden membagi konservasi dalam 7 (tujuh) tingkatan, yaitu:
a) prevention of deterioration (indirect conservation)
Bertujuan melindungi kekayaan budaya dengan mengontrol lingkungannya sehingga mencegah timbulnya penyebab kerusakan, dilakukan dengan pengecekan teratur yang meliputi kelembaban internal, temperatur dan cahaya, pencegahan terhadap kebakaran, pencurian dan vandalisme.
b) Preservation
Bertujuan untuk menjaga kekayaan budaya pada keadaan semula. Perbaikan dilakukan seperlunya bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, baik kerusakan kimiawi maupun organisme.
c) Consolidation (direct conservation)
Merupakan penambahan secara fisik atau aplikasi material pengisi atau pendukung terhadap bahan asli pada obyek, dalam hal ini pengetahuan, ketrampilan dan pemakaian bahan-bahan tradisional merupakan hal yang penting. Jika tidak mungkin menerapkan bahan-bahan tradisional, maka dapat memakai teknik modern yang harus dapat diulang kembali.
d) Restoration
Bertujuan untuk mempertahankan konsep asli atau menemukan bentuk awal obyek. Restorasi dan re-integrasi detil-detil dan gambar-gambar dilakukan berdasarkan bukti arkeologis, disain asli dan bukti otentik.
e) Rehabilitation
Merupakan salah satu usaha mempertahankan bangunan dengan menggunakannya kembali, meskipun tidak sesuai lagi dengan fungsi aslinya (modernisasi dengan atau tanpa perubahan adaptif). Adaptive use merupakan cara paling efektif untuk mempertahankan nilai historis dan estetis secara ekonomis dan memberikan standar baru bagi bangunan bersejarah.
f) Reproduction
Merupakan suatu usaha menjiplak artefak yang masih tersisa untuk menggantikan yang hilang atau rusak sehingga estetika kekunoannya tetap harmonis.
g) Reconstruction
Merupakan usaha untuk merekonstruksi ulang bangunan dan situs bersejarah dengan bahan baru, termasuk memindahkannya ke daerah baru karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.


Dalam teori urban desain, konservasi dalam skala-skla makro memilki tingkatan-tingkatan tertentu, sebagaimana diungkapkan dalam Zahnd (1999):
a) Pembangunan kembali (redevelopment)
Merupakan penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana atau prasarana dari sebagian atau seluruh kawasan kota tersebut.

b) Gentrifikasi (urban infill)
Yaitu upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui peningkatan kualitas lingkungannya tanpa menimbulkan perubahan yang berarti dari struktur fisik kawasan tersebut.
c) Konservasi
Merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat (lahan, kawasan, gedung atau kelompok gedung beserta lingkungannya) sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan.
d) Rehabilitasi
Upaya mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur-unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan, kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya.
e) Preservasi
Upaya memelihara dan melestarikan monumen, bangunan atau lingkungan pada kondisinya dan mencegah terjadinya proses kerusakan.
f) Renovasi
Upaya untuk mengubah sebagian atau beberapa bagian dari bangunan atau komplek tua dengan tujuan agar bangunan tersebut dapat diadaptasikan untuk menampung fungsi baru atau fungsi yang sama dengan persyaratan-persyaratan yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
g) Restorasi
Usaha untuk mengembalikan suatu tambahan-tambahan yang timbul kemudian serta memasang atau mengembalikan unsur-unsur yang semula hilang.
h) Rekonstruksi
Upaya untuk mengembalikan suatu kondisi atau membangun kembali suatu tempat yang rusak parah atau telah hilang sedekat mungkin dengan wujud semula yang diketahui.

SASARAN KONSERVASI
Tindakan konservasi perlu terlebih dahulu menentukan sasaran secara tepat, karena upaya konservasi tidak hanya meliputi perlindungan penataan fisik, namun juga non-fisik, sasaran konservasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
b) Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang kehidupan masa kini.
c) Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian tersebut.
d) Menampilkan sejarah pertumbuhan kota/ lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi.

PRINSIP-PRINSIP KONSERVASI
Tindakan konservasi memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus terlebih dahulu dipahami agar nantinya memberikan hasil yang baik, Feilden memberikan istilah coherance, atau hasil yang akan memiliki kontinuitas dengan lingkungan urban di mana obyek itu berada. Prinsip dasar konservasi sebagaimana diukngkapkan Feilden adalah sebagai berikut:
a) Konservasi dilakukan atas dasar penghargaan terhadap ondisi semula dari suatu obyek/ tempat dan sedikit mungkin melakukan intervensi fisik bangunannya, bertujuan agar tidak mengubah bukti-bukti sejara yang dimilikinya.
b) Maksud konservasi adalah untuk menangkap kembali makna kultural dari suatu tempat dan harus bisa menjamin keamanan dan pemeliharaannya di masa datang.
c) Konservasi di suatu tempat harus mempertimbangan segenap aspek yang berkaitan dengan segenap makna kulturalnya, tanpa menekankan pada aspek tertentu dan mengorbankan aspek lainnya.
d) Suatu bangunan atau hasil karya bersejarah harus tetap berada pada lokasi historisnya, pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan tidak diperkenankan, kecuali bila itu adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan kelestariannya.
e) Kebijakan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan pada pemahaman makna kultural dan kondisi fisik bangunannya.

NILAI-NILAI KONSERVASI
Konservasi haruslah menekankan dan memberikan perhatian pada peningkatan nilai-nilai kultural masyarakat (cultural property). Nilai-nilai kultural yang terdapa dalam konservasi adalah (Feilden, 1982):
a) Nilai emosional
Mencakup keindahan, kontinuitas, identitas, spiritual dan simbolik serta hal-hal emosional yang menakjubkan.
b) Nilai Kultural
Berkaitan dengan dokumentasi, kesejarahan, arkeologikal, bagian dari kota, landscape atau ekologi, teknologi dan ilmu pengetahuan.
c) Nilai guna (use value)
Meliputi kegunaan, ekonomi, sosial dan politik.
Dalam tindakan konservasi, ketiga nilai diatas haruslah memperoleh penekanan secara proporsional, tindakan konservasi haruslah meliputi baik nilai emosional, historis-kultural, juga memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat demi mendapatkan totalitas hasil bagi komunitas di mana obyek konservasi berada.


TINJAUAN URBAN PANGGUNG KRAPYAK
Kawasan Panggung Krapyak berjarak sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Pada tataran urban, kawasan ini dikenal sebagai kampung santri karena adanya pondok pesantren dan kehidupan religiusnya yang masih terpelihara. Disamping itu terjadi pula perubahan fungsi kawasan karena adanya kampus yang cukup besar pada kawasan tersebut, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kerjasama (STIEKER).
Sektor jasa pariwisata yang berkembang adalah jasa layanan turis. Yaitu kafe, guest house dan toko/ art gallery, hal ii bisa dipahami karena wilayah ini terletak tidak terlalu jauh dari kawasan Prawirotaman, yang dikenal sebagai kampung turis. Jejak kawasan ini sebagai pusat industri batik masih tampak dari adanya bekas toko batik besar disudut Jalan Tirtodipuran yang saat ini telah beralih fungsi sebagai toko kelontong.
Problem utama dari upaya konservasi di kawasan ini adalah derasnya arus transformasi kultural karena adanya wisatawan berikut budaya baru yang dibawanya. Sekalipun secara fisik/ teknis keberadaan wisatawan ini akan memacu upaya konservasi karena kecenderungan mereka yang lebih apresiatif terhadap peninggalan bwersejarah, namun upaya konservasi kultural sebagai bagian yang integral dari upaya konservasi fisik akan menjadi tantangan tersendiri.
Beberapa hal pokok yang harus menjadi perhatian sebagai ”titik tolak/ starting point” untuk mengupayakan konservasi lingkungan Panggung Krapyak adalah potensi-potensi berikut:
 Konsep filosofis ”sumbu imajiner” Merapi-Tugu-Kraton-Panggung Krapyak-Laut Selatan, sebagai strujtur kosmologis budaya jawa/ Kasultanan Yogyakarta.
 Potensi lokal masyarakat Krapyak sebagai pengrajin batik

Sumbu imajiner akan berguna untuk menjaga kesinambungan/ lontinuitas linkage antar obyek-obyek peninggalan Kesultanan Yogyakarta di dalam struktur ruang kota, sedangkan potensi lokal masyarakat Krapyak akan berguna untuk menegaskan keberadaan Krapyak sebagai pewaris nilai-nilai kultural budaya jawa.

STRATEGI KONSERVASI KAWASAN PANGGUNG KRAPYAK
Strategi konservasi kawasan Panggung Krapyak akan meliputi strategi dalam lingkup Makro (kota) juga strategi dalam lingkup meso (kawasan) sekaligus strategi mikro (rehabilitation/ penataan obyek untuk penempatan fungsi baru).

Strategi Makro Konservasi
Sebagaimana telah dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa keberadaan Panggung Krapyak tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sumbu imajiner Merapi-Laut Selatan, sehingga strategi yang akan diterapkan dalam konservasi kawasan ini adalah menjaga kontinuitas linkage kawasan, kontinuitas linkage akan mencakup linkage kultural, sejarah dan juga mencakup jiwa dan roh kota secara keseluruhan.
Implementasi konkrit dari kontinuitas linkage ini berupa, menegaskan sumbu Jalan D.I Panjaitan sebagai entrance ke arah Krapyak, kondisi yang ada saat ini menampakkan adanya diskontinuitas sumbu imajiner antara Kraton (alun-alun selatan) ke arah Krapyak. Sebagai obyek bersejarah, Panggung Krapyak tampat terisolasi secara kultural dari Kraton sebagai pusat kekuasaan, sehingga upaya menegaskan kembali sumbu kultural Tugu-Kraton-Krapyak yang terputus akan kembali memberi roh dan jiwa kepada Panggung Krapyak sebagai salah satu bagian dari kota. Beberaopa titik simpul untuk menjaga kontinuitas linkage adalah sistem pedestrian dan bangunan kuno di ujung Jalan Tirtodipuran yang dahulunya merupakan toko/ perusahaan batik serta gapura (Plengkung Gading).

Strategi Meso Konservasi
Strategi meso akan melibatkan masyarakat sekitar kawasan, karena tujuan utama dari upaya konservasi terutama adalah bagaimana upaya konservasi akan turut pula mengangkat harkat dan martabat serta perekonomian masyarakart sekitar. Melihat potensi utama kawasan sebagai daerah pengrajin batik tulis/ cetak, maka dimensi bangunan Panggung Krapyak akan sangat memadai untuk dialih fungsikan sebagai tempat membatik, show room dan tempat kursus membatik, fungsi baru ini akan sangat berbeda dari fungsi awal saat bangunan ini pertama kali didirikan, karenanya akan dibutuhkan beberapa konsolidasi ruang untuk mewadahi fungsi baru yang akan diterapkan pada bangunan ini.
Fungsi baru sebagai tempat kursus dan show room batik akan sangat sesuai dengan potensi yang dimiliki masyarakat, juga potensi kawasan Krapyak (terutama Jalan Mangkuyudan dan Jalan Tirtodipuran) yang didominasi oleh Guest House dan kegiatan turisme. Kegiatan turisme sendiri bukan tujuan utama dari alih fungsi tersebut, tapi potensi yang besar yang ada pada masyarakat Krapyak inilah sebagai landasan utama pengalihan fungsi bangunan kepada fungsinya yang baru.
Upaya konsolidasi bangunan untuk menampung fungsi baru sedapat mungkin tidak merubah bentuk bangunan (terutama eksterior bangunan) dan perubahan interior bangunan sedapat mungkin dihindari, intervensi interior sedapat mungkin menggunakan elemen-elemen bangunan yang ringan dan ”knock down” sehingga kondisi fisik bangunan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi awalnya.
Status kepemilikan bangunan yang dimiliki Kasultanan Yogyakarta, akan memudahkan perubahan fungsi bangunan tersebut, terutama karena fungsi baru itu akan menghidupkan kembali bangunan yang selama ini ”mati suri” tersebut.

Strategi Mikro Konservasi
Strategi mikro akan mencakup konsolidasi bangunan untuk memampung fungsi baru, bangunan Panggung Krapyak terdiri dari sebuah bangunan open plan yang terbagi dalam sembilan segmen, dengan empat akses ke empat arah mata angin dan pasda bagian barat laut terdapat void untuk naik ke lantai atas.
Denah ruang yang berbentuk open plan akan memudahkan dalam pembagian ruang, dengan bentuk ruang yang terbuka tersebut, maka bangunan ini akan tampat lebih luas, dan sesuai dengan arahan konservasi, maka tidak diperlukan partisi ruangan, sedangkan pada saat tidak digunakan untuk melaksanakan kursus membatik, ruangan harus dikembalikan seperti sediakala, lantai II yang merupakan panggung dapat pula digunakan sebagai gardu pandang ke arah utara (ke arah Kraton).

(dipresentasikan dalam SEMINAR NASIONAL Perkembangan Teknologi versus Konservasi Arsitektur, Universitas Merdeka, Malang 28 Agustus 2008)

Aktualisasi Nilai Lokal Dalam Perancangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA)




Abstrak
Kasiba adalah sebidang tanah yang dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan.
Sebagai upaya penyediaan permukiman massal berskala besar bagi masyarakat, terutama berpenghasilan menengah rendah, perancangan Kasiba bertujuan agar Kasiba/Lisiba dapat menjadi alat untuk pengembangan ekonomi lokal dan alat bagi perkembangan kota. Kasiba juga berperan dalam penyediaan kavling tanah matang beserta rumah dengan pola hunian yang berimbang, terencana dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam perkembangannya, desain kawasan skala besar dalam bentuk Kawasan Siap Bangun, menjadi trend dan solusi bagi penyediaan rumah secara massal dan pembangunan yang bertahap memampukan Pemerintah Daerah untuk mengontrol perkembangan kasiba di daerahnya,
Sejalan dengan trend pengembangan Kasiba di berbagai daerah, menimbulkan kesadaran baru untuk menciptakan kawasan skala besar untuk kehidupan dan penghidupan masyarakat sesuai nilai-nilai lokal yang berkembang di daerah tersebut. Aktualisasi nilai-nilai lokal tersebut, diharapkan akan membuat masyarakat tetap memiliki ikatan dengan daerahnya dan keselarasan dengan lingkungan alamnya.
Paparan ini akan melihat beberapa kasus menyangkut aktualisasi nilai lokal pada perancangan Kasiba di beberapa daerah di Indonesia.
Kata kunci : kasiba, perancangan kasiba, aktualisasi nilai lokal

Visi dan misi bagi penyelenggaraan perumahan dan permukiman disusun dan ditetapkan berdasarkan kondisi lingkungan strategis yang berkaitan dengan tantangan, isu dan permasalahan yang ada. Analisis terhadap kondisi lingkungan strategis dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman dilakukan melalui penelusuran kondisi dan permasalahan perumahan dan permukiman tersebut secara komprehensif. Visi yang ditetapkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, adalah agar Setiap orang (KK) Indonesia mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau pada lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam upaya terbentuknya masyarakat yang berjatidiri, produktif dan mandiri. Berjatidiri merupakan manifestasi dari aktualisasi nilai lokal masyarakat pendukungnya, dimana pada pengembangan perumahan, eksistensi manusia sebagai pribadi harus tetap terwadahi.

Rencana Rinci Tata Ruang Kasiba Kabupaten Kapuas Hulu
Kapuas Hulu terletak di bagian timur kota Pontianak ibukota provinsi Kalimantan Barat. Terletak pada Koordinat 0,5 LU – 1,4 LS dan 111,4 BB – 114.1 BT memiliki Luas wilayah sebesar 29.842 Km2 atau 20,33 % dari luas wilayah Kalimantan Barat (146.807 Km2). Terdiri dari 23 kecamatan, dengan 2 kelompok besar etnis yaitu Dayak dan Melayu. Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi.
Kasiba Kapuas Hulu ditetapkan berada di Kecamatan Kedamin, dengan Profil umum kota kedamin sebagai berikut: Berada pada elevasi 44,2-62,7 m dpl dengan kemiringan relatif homogen antara 0 - 8%. Curah hujan 4111,5 mm dengan 271 Hari hujan dalam setahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober-Nopember Suhu Udara berkisar antara 22,5°C-29°C. Kedamin Hilir bagian utara dan Desa Sungai Uluk merupakan area rawan banjir Tanah Kota Kedamin umumnya berupa tanah aluvial, tanah gambut, dan tanah podsolik merah kuning.
Potensi dan permasalahan yang muncul dalam perancangan Kasiba di Kota Kedamin, Kapuas Hulu antara lain: Potensi:
• Penetapan Lokasi oleh Bupati.
• Pemilikan lahan pemkab 22 Ha.
• Tingkat kedekatan kepada Fasos/Fasum eksisting.
• Sudah dimulai dengan Pembangunan
• Permintaan Rumah untuk PNS/Polri dan Relokasi Perumahan PNS yang terlanda banjir.
• Jalan akses pendek ke Jalan Kolektor primer
Permasalahan
• Belum tersedia jalan akses (termasuk perencanaan)
• Untuk Aksesibilitas Kawasan perlu pembebasan lahan(dari Utara ca. 100 m, dari Barat ca.300 m)
• Lahan Pemkot yang tersedia hanya 22 Ha, estimasi kebutuhan 50 Ha.
• Lahan tergenang air (traped) pada waktu hujan
Konsep perancangan bangunan pada kasiba kedamin, Kabulaten Kapuas Hulu adalah desain hunian dirancang sebagai rumah kopel yaitu dalam satu kavling terdapat 2 bangunan. Hal tersebut dirancang atas dasar adaptasi dari kebudayaan/kebiasaan setempat yaitu pola hidup kebersamaan dan tipologi rumah adat betang .
Rumah betang di artikan sebagai rumah panjang. Dimana,terdapat Teras memanjang disertai kolom. Maka implementasi dalam konsep perancangan hunian adalah :
- rumah jenis kopel
- tipologi bentuk bangunan cenderung melebar.
- disain rumah tidak bertingkat dengan ketinggian +4.50m.
- elevasi lantai +20 - +30 cm dari elevasi jalan Untuk antisipasi genangan.
- konsep penataan dataran kavling disesuaikan dengan keadaan sekitar.

Adaptation and Sustainable Architecture; Manggaraian Traditional Architecture in age of Globalization



Abstract
Improvement of technologies that start during 16th century have change the way of human life, increase of population, urbanization, colonialism, imperialism, comsumption growth and earth pollution are some of the worst effect of industrialization, although we cannot deny the improvement of technologies to human kind, the development of science that lead better human life.
The diversity of Indonesian traditional architecture is a cultural richness that attract to research, particulary the relation between modernization and adaptation of traditional culture toward modernity, Manggaraian architecture is one of them, laid in Flores Island, one of the East Nusa Tenggara isles.
Manggarai culture which stand their belief on the spirit of the ancestors, the strong familiarity as social patrilineal community having a uniqueness which in modern era have to face the change and adaptation either in physic and non-physic culture. Manggarai people nowdays can describe as “society in transition”, a transition caused by touch of a new cultural system, especially in the changing believing system (religion) and also science and technology effect which open the Manggaraian people with world outside, an introduction to modern building material which all have change the ‘face’ of their architecture from primitive culture to a traditional vernacular culture.
Globalization era in term of traditional architecture of Manggaraian people should put in todays awareness, the spirit of development of sustainable architecture, which means adaptation to modernity without losse their local knowledge. To create architecture design which uses natural resources wisely.
KEY WORDS: Improvement of technologies, Traditional achitecture of Manggarai, culture adaptation, sustainable architecture

(Presented on ”International Conference of Tropical Architecture within Tradition-Globalization”, 17 Agustus 1945 University (UNTAG), Surabaya, April 24th 2007)

FENGSHUI SEBAGAI POTENSI KREATIF DALAM DESAIN INTERIOR



FENGSHUI SEBAGAI POTENSI KREATIF DALAM DESAIN INTERIOR
(Studi Kasus Perancangan Ruang Direksi dan
Ruang Rapat; Kantor Majalah Lisa, Jakarta)

Abstrak

Proses desain dalam arsitektur merupakan proses kreatif yang mengeksplorasi segenap kemampuan daya pikir arsitek, proses mendesain akan meliputi penggalian data dan informasi serta eksplorasi aspirasi klien, yang berujud akhir sebuah desain, fengshui sebagai bagian dari tradisi Cina Kuno adalah seni pengaturan interior dan eksterior bangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai keselarasan antara penghuni dengan lingkungannya, demi tercapainya peruntungan, kesehatan, kesejahteraan dan keberhasilan/ kesuksesan bagi penghuninya. Norma-norma merancang yang berlandaskan nilai tradisi yang tidak diperoleh dalam jenjang pendidikan formal Arsitektur terkadang menjadi faktor penghambat kreatifitas, kendala-kendala dalam merancang karena adanya faktor-faktor tradisi tersebut, diantaranya termasuk fengshui, terkadang terjadi karena kurangnya pemahaman kita akan ilmu fengshui tersebut, bagi arsitek adanya nilai-nilai tradisi yang sarat dengan aturan-aturan ini justru seharusnya bisa memunculkan potensi-potensi kreatif kita dalam merancang. PT Imagindo Komunikatama, yang menjadi klien dari Tim Perancang merencanakan renovasi desain interiornya dengan menggunakan fengshui sebagai dasar rancangannya, interior yang didesain berdasarkan syarat-syarat fengshui pada akhirnya memunculkan ide-ide kreatif dari perancangnya baik dalam desain ruang maupun desain furniturenya sehingga bagi arsitek sudah seharusnyalah untuk mengubah segala kendala-kendala dari nilai-nilai tradisionil menjadi ”energi” positif untuk berkarya dan menghasilkan rancangan-rancangan yang penuh nilai kreatifitas.
Kata kunsi:fengshui, potensi kreatif, desain interior

(Abstrak

Proses desain dalam arsitektur merupakan proses kreatif yang mengeksplorasi segenap kemampuan daya pikir arsitek, proses mendesain akan meliputi penggalian data dan informasi serta eksplorasi aspirasi klien, yang berujud akhir sebuah desain, fengshui sebagai bagian dari tradisi Cina Kuno adalah seni pengaturan interior dan eksterior bangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai keselarasan antara penghuni dengan lingkungannya, demi tercapainya peruntungan, kesehatan, kesejahteraan dan keberhasilan/ kesuksesan bagi penghuninya. Norma-norma merancang yang berlandaskan nilai tradisi yang tidak diperoleh dalam jenjang pendidikan formal Arsitektur terkadang menjadi faktor penghambat kreatifitas, kendala-kendala dalam merancang karena adanya faktor-faktor tradisi tersebut, diantaranya termasuk fengshui, terkadang terjadi karena kurangnya pemahaman kita akan ilmu fengshui tersebut, bagi arsitek adanya nilai-nilai tradisi yang sarat dengan aturan-aturan ini justru seharusnya bisa memunculkan potensi-potensi kreatif kita dalam merancang. PT Imagindo Komunikatama, yang menjadi klien dari Tim Perancang merencanakan renovasi desain interiornya dengan menggunakan fengshui sebagai dasar rancangannya, interior yang didesain berdasarkan syarat-syarat fengshui pada akhirnya memunculkan ide-ide kreatif dari perancangnya baik dalam desain ruang maupun desain furniturenya sehingga bagi arsitek sudah seharusnyalah untuk mengubah segala kendala-kendala dari nilai-nilai tradisionil menjadi ”energi” positif untuk berkarya dan menghasilkan rancangan-rancangan yang penuh nilai kreatifitas.
Kata kunsi:fengshui, potensi kreatif, desain interior

(Disampaikan dalam “Seminar Nasional Rekayasa Perencanaan VI Peluang Sarjana Arsitektur Dalam Desain Interior” di UPN-Veteran Jatim, Surabaya 16 Mei 2005)

Penelusuran Morfologi Pusat Desa Brosot, Yogya.....


Desa sebagai unit pemerintahan terkecil, pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan kekuasaan, terlebih pada desa-desa dimana pengaruh kekuasaan masih dominan, atau desa yang dekat dengan ibukota pemerintahan.
Desa Brosot, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah yang berada dibawah pemerintahan Adipati Pakualam, keberadaan raja diwakili oleh seorang Bupati, yang sekaligus berperan sebagai tenaga administrasi kadipaten, yang bertugas menyetorkan pajak tanah kepada Adipati Pakualam di Yogyakarta.
Dominasi kekuasaan Pakualam dan perkembangan tanam paksa (cultuur stellsel) pada pertengahan abad 19 telah membentuk Pusat Desa Brosot yang dominan dengan kegiatan perkebunan dan industri, meskipun akhirnya kegiatan industri ini berakhir bersamaan dengan timbulnya gerakan kebangsaan dan perebutan paksa dan penghancuran asset penjajah kolonial sekitar tahun 1940-1950.
Penelitian ini akan berusaha menelusuri dan melakukan pencarian Pusat Desa Brosot pada awal berdirinya, berusaha melihat perkembangan morfologi pusat desa sejalan perkembangan sejarah yang ada. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik wawancara dengan beberapa narasumber yang mengetahui sejarah Desa Brosot dan membandingkan dengan sumber-sumber tertulis yang masih bisa terlacak.

Desa Brosot terletak di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, berjarak sekitar 27 kilometer dari pusat kota Yogyakarta arah barat daya, atau sekitar 20 kilometer di timur Wates, Ibukota Kabupaten Kulon Progo, terletak tepat di barat Sungai Progo sekitar 12 kilometer dari pantai selatan, di sebelah barat Desa Brosot, berbatasan dengan Desa Pandowan dan Desa Kranggan, Kecamatan Galur, Batas Utara dengan Kecamatan Lendah, sementara tepat di sebelah timur Sungai Progo masuk dalam Desa Srandakan, Kabupaten Bantul.

SEJARAH DESA BROSOT

Desa Brosot pada mulanya bernama Desa Karang Kemuning , nama desa ini merupakan nama awal desa sebelum masuknya pengaruh Belanda melalui kegiatan industri gula dan tanam paksa tebu.

Nama Brosot sendiri memiliki banyak versi berbeda berdasarkan penuturan masing-masing narasumber, ada yang menyatakan bahwa nama Brosot memiliki arti pergi tanpa pamit , ada pula yang menyatakan bahwa nama Brosot berasal dari nama/ bahasa Belanda Brosst yang melalui pelafalan bahasa jawa berubah menjadi Brosot, tidak bisa dipastikan dari dua sumber tersebut, mana asal kata yang dapat dianggap mewakili kata Brosot, karena kata itu sendiri tidak ada dalam kosa kata bahasa jawa.

Pusat Desa Brosot Jaman Kolonial/ Pemerintahan Pakualam

Tidak banyak yang bisa digali tentang struktur pemerintahan dan tata ruang wilayah pada awal sejarah Desa Brosot ada, sejarah tertua yang sampai saat ini terlacak adalah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pada era cultuur steellsel dimana pada sekitar tahun 1850-an di sekitar Desa Brosot merupakan daerah pusat industri. Desa Pandowan di sisi barat Brosot dan Desa Sewu Galur adalah pusat industri gula dan perkebunan tanam paksa tebu dan Indigo . Industri yang ada saat itu merupakan industri besar terbukti dari adanya catatan sejarah tentang pemogokan buruh secara besar-besaran pada tahun 1876 di Desa Sewu Galur menuntut adanya pengurangan jam kerja. Pemogokan pada tahun 1876 ini melibatkan hampir 1000 orang buruh tani yang mengadukan permasalahan jam kerja ini kepada perwakilan Adipati Pakualam di Brosot .

Perwakilan Adipati Pakualam di Brosot dan sekitarnya (dalam lingkup Kecamatan Galur) diwakili oleh pejabat setingkat Bupati, jabatan ''Bupati'' yang berkedudukan di Brosot ini hanya bertahan satu periode pemerintahan. Bupati pertama saat itu dijabat oleh Bupati Suryo Digdoyo yang setelah kematiannya pusat pemerintahan Pakualam di Kulon Progo dipindahkan ke Bendungan, Wates.

Kematian Bupati Suryo Digdoyo berdasarkan cerita sejarah masyarakat Brosot adalah karena intrik dari Pemerintah Belanda yang mengadakan pesta jamuan dan mengundang Bupati untuk hadir, namun Belanda dengan tujuan dan maksud tertentu membubuhkan racun pada minuman Bupati Suryo Digdoyo hingga akhirnya Bupati ini tewas tak berapa lama kemudian . Tewasnya Bupati Suryo Digdoyo membuat kekuasaan di Brosot menjadi lowong dan Pemerintahan Kadipaten Pakualam memindahkan pusat pemerintahan ke Bendungan Wates, yang hingga saat ini dikenal sebagai Ibukota Kabupaten Kulon Progo.

Pemimpin Desa (Lurah) di Brosot pada awal desa ini terbentuk (berada dalam kekuasaan Pakualam) adalah Raden Atmo Suwarno, masih keturunan keluarga bangsawan dari Pakualam, tahun masa kepemimpinan Lurah ini sulit untuk dilacak, dalam catatan Kelurahan Brosot, Lurah ke-empat yang memimpin desa ini bernama Raden Mahendra yang berkuasa pada sekitar tahun 1946 , dengan asumsi masa kepemimpinan lurah adalah sekitar 10-15 tahun, maka diperkirakan R. Atmo Suwarno berkuasa sekitar tahun 1890-1900.

Berdasarkan cerita masyarakat Brosot, Lurah pertama Brosot bertempat tinggal di sebelah barat Pesanggrahan Pakualam. Atau tepatnya dibelakang Kantor Kecamatan Galur sekarang. Pernyataan bahwa R. Atmo Suwarno merupakan Lurah pertama Desa Brosot dibantah oleh beberapa orang, karena ada beberapa orang yang menyatakan bahwa R. Atmo Suwarno tak lebih hanyalah seorang Upas (pemungut pajak tanah) .

Garis merah dari pernyataan-pernyataan yang mengandung versi yang berbeda-beda ini dapat disimpulkan bahwa pada awal terbentuknya desa ini, kekuasaan Pakualam begitu dominan, terbukti dari adanya wakil Pakualam berupa pejabat setingkat bupati, adanya pejabat ini dimungkinkan karena adanya proses industrialisasi dan perkebunan sebagai akibat kebijakan Cultuur Stellsel yang pada masanya menjadi kekuatan sentral ekonomi Brosot, dan juga kekuatan sentral ekonomi Hindia Belanda di Dunia , bukti dari adanya kegiatan industri ini hingga tahun 1950-an adalah berupa rel KA/ lori tebu yang membujur sepanjang puluhan kilometer dari Desa Sewu Galur hingga arah Bantul melintasi Sungai Progo.

(Disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Dosen Teknik, Universitas Tarumanagara, 5-6 September 2006)

Kinship as a determining factor of settlement in Cibal Clan, Flores


Abstract
Architecture in the beginning is a human reflection of making place for shelter, later considering the development of the society, the needs and demands of the people for the house is increase, not only a place for shelter but also a reflection of complex idea and behaviour as a manifestation of cultural system which guided them.
The diversity of Indonesian traditional architecture is a cultural richness which attracted to research, traditional architecture of Manggarai is one of them, laid in Flores Island, one of the East Nusa Tenggara isles.
Cibal Manggaraians culture which stand their belief on the spirit of the ancestors, empo and the strong familiarity wa’u as social patrilineal community base on kinship, having an uniqueness cause the wa’u live in the same settlement called golo.
The research found that Cibal people having strong family relationship, which stand on “patrilineal system”, and the religion system belief on the spirit of the ancestors, these religion and Patrilineal clan being a matter thing that form their settlement.
This paper is a preliminary research which study the relations of cultural system in architecture, describe the elements of Manggarai settlement in relation with patrilineal clan, kinship and religion. For the future, researcher hope that it can continued with deeply research in the frame of preservation and conservation of traditional settlement of Cibal, Manggarai to completed the vocabulary of Nusantara traditional architecture.

Key word: Kinship, elements of settlement, Cibal architecture

(Presented at Seminar on Sustainable Environmental Architecture 8th, August 23rd, 24th 2007, Petra Christian University, Surabaya, Indonesia)