Selasa, 02 Februari 2010

Konservasi Kawasan Panggung Krapyak Yogyakarta Melalui Pendekatan Urban Linkage




PENGERTIAN KONSERVASI
Konservasi secara umum dipahami sebagai upaya untuk menjaga, mengawetkan dan memelihara bangunan atau lingkungan binaan yang sudah kuno, atau sudah sangat buruk kondisinya, bahkan dalam arti yang luas akan mencakup konservasi kultural di mana obyek tersebut berada. Undang-undang tentang benda peninggalan bersejarah sendiri memberi batas waktu 50 tahun sebagai batas sebuah obyek bangunan/ lingkungan binaan yang sudah layak untuk dikonservasi.
Konservasi sebagai sebuah ilmu yang sangat luas memiliki keahlian multidipliner meliputi beberapa keahlian khusus. Pengertian konservasi tidak terbatas pada pelestarian atau pengawetan bangunan/ lingkungan binaan semata, konservasi memiliki pengertian yang luas, meliputi berbagai tindakan dan upaya berkaitan dengan penyelamatan bangunan bersejarah. Beberapa pengertian konservasi dapat diuraikan antara lain:
1. Conservation can be defined as preservation from loss, depletion, waste or harm. (Martin E. Weafer, 1997).
2. Conservation is, therefore, primary a process which leads to the prolongation of the life of cultural property for its utilization know and the future (Bernard M. Feilden 1994).
3. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya tetap terpelihara dengan baik (The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance, 1981).

TINGKATAN KONSERVASI
Upaya konservasi akan meliputi tingkatan-tingkatan tindakan/ actions berdasarkan tingkat kebutuhan dan kondisi obyek konservasi tersebut, juga melihat kepentingan dan tautannya dengan kondisi sekitar (tautan urban) karena pada dasarnya sebuah obyek konservasi tidak bisa dilihat sebagai obyek tunggal namun obyek yang memiliki jiwa dan roh di dalam lingkungannya. Bring the preservation of the individual building inti its urban context in order to have more coherance of the end result. Bernard Feilden membagi konservasi dalam 7 (tujuh) tingkatan, yaitu:
a) prevention of deterioration (indirect conservation)
Bertujuan melindungi kekayaan budaya dengan mengontrol lingkungannya sehingga mencegah timbulnya penyebab kerusakan, dilakukan dengan pengecekan teratur yang meliputi kelembaban internal, temperatur dan cahaya, pencegahan terhadap kebakaran, pencurian dan vandalisme.
b) Preservation
Bertujuan untuk menjaga kekayaan budaya pada keadaan semula. Perbaikan dilakukan seperlunya bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, baik kerusakan kimiawi maupun organisme.
c) Consolidation (direct conservation)
Merupakan penambahan secara fisik atau aplikasi material pengisi atau pendukung terhadap bahan asli pada obyek, dalam hal ini pengetahuan, ketrampilan dan pemakaian bahan-bahan tradisional merupakan hal yang penting. Jika tidak mungkin menerapkan bahan-bahan tradisional, maka dapat memakai teknik modern yang harus dapat diulang kembali.
d) Restoration
Bertujuan untuk mempertahankan konsep asli atau menemukan bentuk awal obyek. Restorasi dan re-integrasi detil-detil dan gambar-gambar dilakukan berdasarkan bukti arkeologis, disain asli dan bukti otentik.
e) Rehabilitation
Merupakan salah satu usaha mempertahankan bangunan dengan menggunakannya kembali, meskipun tidak sesuai lagi dengan fungsi aslinya (modernisasi dengan atau tanpa perubahan adaptif). Adaptive use merupakan cara paling efektif untuk mempertahankan nilai historis dan estetis secara ekonomis dan memberikan standar baru bagi bangunan bersejarah.
f) Reproduction
Merupakan suatu usaha menjiplak artefak yang masih tersisa untuk menggantikan yang hilang atau rusak sehingga estetika kekunoannya tetap harmonis.
g) Reconstruction
Merupakan usaha untuk merekonstruksi ulang bangunan dan situs bersejarah dengan bahan baru, termasuk memindahkannya ke daerah baru karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.


Dalam teori urban desain, konservasi dalam skala-skla makro memilki tingkatan-tingkatan tertentu, sebagaimana diungkapkan dalam Zahnd (1999):
a) Pembangunan kembali (redevelopment)
Merupakan penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana atau prasarana dari sebagian atau seluruh kawasan kota tersebut.

b) Gentrifikasi (urban infill)
Yaitu upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui peningkatan kualitas lingkungannya tanpa menimbulkan perubahan yang berarti dari struktur fisik kawasan tersebut.
c) Konservasi
Merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat (lahan, kawasan, gedung atau kelompok gedung beserta lingkungannya) sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan.
d) Rehabilitasi
Upaya mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur-unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan, kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya.
e) Preservasi
Upaya memelihara dan melestarikan monumen, bangunan atau lingkungan pada kondisinya dan mencegah terjadinya proses kerusakan.
f) Renovasi
Upaya untuk mengubah sebagian atau beberapa bagian dari bangunan atau komplek tua dengan tujuan agar bangunan tersebut dapat diadaptasikan untuk menampung fungsi baru atau fungsi yang sama dengan persyaratan-persyaratan yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
g) Restorasi
Usaha untuk mengembalikan suatu tambahan-tambahan yang timbul kemudian serta memasang atau mengembalikan unsur-unsur yang semula hilang.
h) Rekonstruksi
Upaya untuk mengembalikan suatu kondisi atau membangun kembali suatu tempat yang rusak parah atau telah hilang sedekat mungkin dengan wujud semula yang diketahui.

SASARAN KONSERVASI
Tindakan konservasi perlu terlebih dahulu menentukan sasaran secara tepat, karena upaya konservasi tidak hanya meliputi perlindungan penataan fisik, namun juga non-fisik, sasaran konservasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
b) Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang kehidupan masa kini.
c) Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian tersebut.
d) Menampilkan sejarah pertumbuhan kota/ lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi.

PRINSIP-PRINSIP KONSERVASI
Tindakan konservasi memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus terlebih dahulu dipahami agar nantinya memberikan hasil yang baik, Feilden memberikan istilah coherance, atau hasil yang akan memiliki kontinuitas dengan lingkungan urban di mana obyek itu berada. Prinsip dasar konservasi sebagaimana diukngkapkan Feilden adalah sebagai berikut:
a) Konservasi dilakukan atas dasar penghargaan terhadap ondisi semula dari suatu obyek/ tempat dan sedikit mungkin melakukan intervensi fisik bangunannya, bertujuan agar tidak mengubah bukti-bukti sejara yang dimilikinya.
b) Maksud konservasi adalah untuk menangkap kembali makna kultural dari suatu tempat dan harus bisa menjamin keamanan dan pemeliharaannya di masa datang.
c) Konservasi di suatu tempat harus mempertimbangan segenap aspek yang berkaitan dengan segenap makna kulturalnya, tanpa menekankan pada aspek tertentu dan mengorbankan aspek lainnya.
d) Suatu bangunan atau hasil karya bersejarah harus tetap berada pada lokasi historisnya, pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan tidak diperkenankan, kecuali bila itu adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan kelestariannya.
e) Kebijakan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan pada pemahaman makna kultural dan kondisi fisik bangunannya.

NILAI-NILAI KONSERVASI
Konservasi haruslah menekankan dan memberikan perhatian pada peningkatan nilai-nilai kultural masyarakat (cultural property). Nilai-nilai kultural yang terdapa dalam konservasi adalah (Feilden, 1982):
a) Nilai emosional
Mencakup keindahan, kontinuitas, identitas, spiritual dan simbolik serta hal-hal emosional yang menakjubkan.
b) Nilai Kultural
Berkaitan dengan dokumentasi, kesejarahan, arkeologikal, bagian dari kota, landscape atau ekologi, teknologi dan ilmu pengetahuan.
c) Nilai guna (use value)
Meliputi kegunaan, ekonomi, sosial dan politik.
Dalam tindakan konservasi, ketiga nilai diatas haruslah memperoleh penekanan secara proporsional, tindakan konservasi haruslah meliputi baik nilai emosional, historis-kultural, juga memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat demi mendapatkan totalitas hasil bagi komunitas di mana obyek konservasi berada.


TINJAUAN URBAN PANGGUNG KRAPYAK
Kawasan Panggung Krapyak berjarak sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Pada tataran urban, kawasan ini dikenal sebagai kampung santri karena adanya pondok pesantren dan kehidupan religiusnya yang masih terpelihara. Disamping itu terjadi pula perubahan fungsi kawasan karena adanya kampus yang cukup besar pada kawasan tersebut, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kerjasama (STIEKER).
Sektor jasa pariwisata yang berkembang adalah jasa layanan turis. Yaitu kafe, guest house dan toko/ art gallery, hal ii bisa dipahami karena wilayah ini terletak tidak terlalu jauh dari kawasan Prawirotaman, yang dikenal sebagai kampung turis. Jejak kawasan ini sebagai pusat industri batik masih tampak dari adanya bekas toko batik besar disudut Jalan Tirtodipuran yang saat ini telah beralih fungsi sebagai toko kelontong.
Problem utama dari upaya konservasi di kawasan ini adalah derasnya arus transformasi kultural karena adanya wisatawan berikut budaya baru yang dibawanya. Sekalipun secara fisik/ teknis keberadaan wisatawan ini akan memacu upaya konservasi karena kecenderungan mereka yang lebih apresiatif terhadap peninggalan bwersejarah, namun upaya konservasi kultural sebagai bagian yang integral dari upaya konservasi fisik akan menjadi tantangan tersendiri.
Beberapa hal pokok yang harus menjadi perhatian sebagai ”titik tolak/ starting point” untuk mengupayakan konservasi lingkungan Panggung Krapyak adalah potensi-potensi berikut:
 Konsep filosofis ”sumbu imajiner” Merapi-Tugu-Kraton-Panggung Krapyak-Laut Selatan, sebagai strujtur kosmologis budaya jawa/ Kasultanan Yogyakarta.
 Potensi lokal masyarakat Krapyak sebagai pengrajin batik

Sumbu imajiner akan berguna untuk menjaga kesinambungan/ lontinuitas linkage antar obyek-obyek peninggalan Kesultanan Yogyakarta di dalam struktur ruang kota, sedangkan potensi lokal masyarakat Krapyak akan berguna untuk menegaskan keberadaan Krapyak sebagai pewaris nilai-nilai kultural budaya jawa.

STRATEGI KONSERVASI KAWASAN PANGGUNG KRAPYAK
Strategi konservasi kawasan Panggung Krapyak akan meliputi strategi dalam lingkup Makro (kota) juga strategi dalam lingkup meso (kawasan) sekaligus strategi mikro (rehabilitation/ penataan obyek untuk penempatan fungsi baru).

Strategi Makro Konservasi
Sebagaimana telah dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa keberadaan Panggung Krapyak tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sumbu imajiner Merapi-Laut Selatan, sehingga strategi yang akan diterapkan dalam konservasi kawasan ini adalah menjaga kontinuitas linkage kawasan, kontinuitas linkage akan mencakup linkage kultural, sejarah dan juga mencakup jiwa dan roh kota secara keseluruhan.
Implementasi konkrit dari kontinuitas linkage ini berupa, menegaskan sumbu Jalan D.I Panjaitan sebagai entrance ke arah Krapyak, kondisi yang ada saat ini menampakkan adanya diskontinuitas sumbu imajiner antara Kraton (alun-alun selatan) ke arah Krapyak. Sebagai obyek bersejarah, Panggung Krapyak tampat terisolasi secara kultural dari Kraton sebagai pusat kekuasaan, sehingga upaya menegaskan kembali sumbu kultural Tugu-Kraton-Krapyak yang terputus akan kembali memberi roh dan jiwa kepada Panggung Krapyak sebagai salah satu bagian dari kota. Beberaopa titik simpul untuk menjaga kontinuitas linkage adalah sistem pedestrian dan bangunan kuno di ujung Jalan Tirtodipuran yang dahulunya merupakan toko/ perusahaan batik serta gapura (Plengkung Gading).

Strategi Meso Konservasi
Strategi meso akan melibatkan masyarakat sekitar kawasan, karena tujuan utama dari upaya konservasi terutama adalah bagaimana upaya konservasi akan turut pula mengangkat harkat dan martabat serta perekonomian masyarakart sekitar. Melihat potensi utama kawasan sebagai daerah pengrajin batik tulis/ cetak, maka dimensi bangunan Panggung Krapyak akan sangat memadai untuk dialih fungsikan sebagai tempat membatik, show room dan tempat kursus membatik, fungsi baru ini akan sangat berbeda dari fungsi awal saat bangunan ini pertama kali didirikan, karenanya akan dibutuhkan beberapa konsolidasi ruang untuk mewadahi fungsi baru yang akan diterapkan pada bangunan ini.
Fungsi baru sebagai tempat kursus dan show room batik akan sangat sesuai dengan potensi yang dimiliki masyarakat, juga potensi kawasan Krapyak (terutama Jalan Mangkuyudan dan Jalan Tirtodipuran) yang didominasi oleh Guest House dan kegiatan turisme. Kegiatan turisme sendiri bukan tujuan utama dari alih fungsi tersebut, tapi potensi yang besar yang ada pada masyarakat Krapyak inilah sebagai landasan utama pengalihan fungsi bangunan kepada fungsinya yang baru.
Upaya konsolidasi bangunan untuk menampung fungsi baru sedapat mungkin tidak merubah bentuk bangunan (terutama eksterior bangunan) dan perubahan interior bangunan sedapat mungkin dihindari, intervensi interior sedapat mungkin menggunakan elemen-elemen bangunan yang ringan dan ”knock down” sehingga kondisi fisik bangunan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi awalnya.
Status kepemilikan bangunan yang dimiliki Kasultanan Yogyakarta, akan memudahkan perubahan fungsi bangunan tersebut, terutama karena fungsi baru itu akan menghidupkan kembali bangunan yang selama ini ”mati suri” tersebut.

Strategi Mikro Konservasi
Strategi mikro akan mencakup konsolidasi bangunan untuk memampung fungsi baru, bangunan Panggung Krapyak terdiri dari sebuah bangunan open plan yang terbagi dalam sembilan segmen, dengan empat akses ke empat arah mata angin dan pasda bagian barat laut terdapat void untuk naik ke lantai atas.
Denah ruang yang berbentuk open plan akan memudahkan dalam pembagian ruang, dengan bentuk ruang yang terbuka tersebut, maka bangunan ini akan tampat lebih luas, dan sesuai dengan arahan konservasi, maka tidak diperlukan partisi ruangan, sedangkan pada saat tidak digunakan untuk melaksanakan kursus membatik, ruangan harus dikembalikan seperti sediakala, lantai II yang merupakan panggung dapat pula digunakan sebagai gardu pandang ke arah utara (ke arah Kraton).

(dipresentasikan dalam SEMINAR NASIONAL Perkembangan Teknologi versus Konservasi Arsitektur, Universitas Merdeka, Malang 28 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: